Football is Life

Friday, June 30, 2006

Kekuatan Cinta dalam Perjuangan

Saat kembali dari Basel pekan lalu, kami sempat transit di Frankfurt selama 3 jam. Kota Frankfurt adalah salah satu kota yang dijadikan tempat pertandingan piala Dunia. Sayang kita hanya transit dan tak sempat keluar. Ketika itu, Jerman baru saja lolos ke perempat final setelah mengalahkan Swedia 2-0. Saat penantian itulah, saya terpikat pada Headline sebuah tabloid Jerman yang menulis ”Danke, Juergen fur diese Liebesnacht.” Artinya kira-kira, ”Terima kasih Juergen, atas malam-malam cinta.” Saya menebak ini pasti para pemain mengucapkan terima kasih karena, Juergen Klinsmann, pelatih kesebelasan Jerman, memberikan para pemain Jerman kebebasan dalam bercinta. Gairah para pemain dalam bercinta, bertemu istri atau kekasih mereka, justru dianggap sebagai pemicu semangat para pemain Jerman. Inilah slah satu faktor yang membuat Jerman unstoppable.

Erika Berger pernah mengatakan bahwa satu jam seks akan jauh lebih efektif dan membantu kita daripada lima jam latihan tekhnik dan taktik bola. ”Malam cinta adalah rahasia kemenangan kita” begitu sambung Erika. Kita tentu memaklumi, enam minggu bertanding di piala dunia tanpa boleh menyalurkan kebutuhan seksual tentu akan membuat kepala pemain pusing dan uring-uringan.

Fabio Cannavaro, kapten tim sekaligus pemain belakang Italia, bermain gemilang saat menghadapi Australia di perdelapan final lalu. Meski Tim Azzuri tampil hanya dengan 10 pemain, karena Marco Materazi memperoleh kartu merah, Cannavaro dengan gemilang mengomando lini belakang Italia dari gedoran pemain Australia. Terbukti memang kegemilangan Cannavaro. Italia baru kebobolan satu gol sejak pertandingan pertama di piala Dunia. Apa rahasia Cannavaro? Dalam wawancaranya usai pertandingan, juga dikutip Kompas kemarin, Cannavaro mengatakan 3 hal yang menjadi kunci keberhasilannya. Itu adalah makan dengan baik (diet), tidur cukup, dan melakukan hubungan seks. Saya tak pernah merokok, saya tak pernah minum alkohol. Hidup disiplin seperti ini bertahun-tahun membantu penampilan saya.

Betul memang, piala dunia kala ini berbeda sekali dengan saat-saat saya masih SD atau SMP dulu. Di tahun 60 sampai dengan 90-an lalu, wanita dianggap sebagai setan penggoda pemain bola. Herrera, pelatih Italia di tahun 90, mengatakan bahwa para pemain dilarang mendekati wanita, jika mereka sedang dalam persiapan menjelang pertandingan penting. Ia terang-terangan memanggil para istri pemain, ”Jangan memanjakan diri dengan seks, suamimu sedang punya tanggungjawab yang lebih penting, urusan negara. Jangan ganggu dia”. Jerman sendiri punya pengalaman yang sama dengan hal itu. Franz Beckenbauer mengatakan bahwa dahulu setiap kemenangan adalah kenangan yang pahit. Meski para fans riuh dalam kegembiraan, para pemain seperti orang bingung karena istri mereka ”diamankan” jauh dari mereka.

Tidak menyertakan wanita dalam sepakbola nampaknya memang kurang adil. Hampir sebagian besar fans sepakbola adalah wanita. Untunglah, sekarang para pelatih terlihat lebih longgar. Saat ini, istri-istri para pemain bola adalah selebritis yang menjadi bagian keriaan dari pesta sepakbola. Mereka diperbolehkan hadir bahkan bersama dengan anak-anak mereka. Istri dan anak-anak bukanlah hal yang kecil dalam karir seseorang. Saat David Beckham hancur mentalnya usai Piala Dunia 98, seluruh publik Inggris mencemooh. Orang tak ada yang mau peduli, apa yang sebenarnya terjadi dalam kesedihan hati Beckham. Tapi sang istri, tahu betapa berat beban yang dirasakan sang kekasih. Ia menjadi teman tempat Beckham menyandarkan diri dalam kalutnya. Ia menjadi teman bicara dan pendengar yang baik. Demikian pula saat Michel Ballack akan menghadapi pertandingan-pertandingan final. Ia gugup dan tangannya kerap gemetar sampai saat ia minum segelas air, beberapa titik air tumpah dari gelas yang dipeganginya. Tapi sang istri selalu ada membangkitkan kegairahannya. ”Buat saya, empat minggu tanpa istri saya adalah hal yang sangat berat”, kata Ballack. Demikian pula para istri pemain lainnya. Mereka adalah ”wind beneath the wing” yang mampu membuat para pemain terbang, bertahan, dan terus di atas.

Moral cerita ini adalah, bekerja dan bekerja, tanpa cinta akan membuat hidup kita kering. ”siapa tidak mencinta, dia akan jadi pemalas”. Keluarga adalah tempat menuai cinta sejati yang terbaik. Bagi para pemain bola, kata Cannavaro, sangat penting apa yang dilakukannya di luar lapangan. Sementara bagi kita dalam bekerja, hal yang sama terjadi, sangat penting apa yang dilakukan kita di luar kantor. Apa yang dilakukan bagi keluarga, dan bagi masyarakat, akan menentukan apa yang kita putuskan di kantor.

Semoga kekuatan cinta ini akan membuat pasukan Jerman malam ini bertempur dengan semangat. Tapi jangan lupa, di ujung sana mereka berhadapan dengan pasukan Argentina yang juga terkenal sebagai pecinta ulung....

(tulisan ini dibuat saat Jerman akan menghadapi Argentina pada perempat final piala dunia 2006 di Jerman, 30 Juni 2006)

Tuesday, June 20, 2006

Tim Brazil adalah Impian

Ada satu hal yang jadi perhatian saya dari pertandingan Tim Brasil tadi malam. Anak saya di rumah begitu gandrungnya dengan mereka. Padahal saya sendiri mendukung Tim Inggris. Kita selalu berdebat soal yang satu ini. Logika dia sih masuk akal. Di Brazil ada Ronaldinho, Ronaldo, Roberto Carlos. Betul-betul Los Galacticos. Plus gaya permainan mereka yang menawan dan menari di lapangan. Mereka adalah kesebelasan negara terhebat di dunia, bahkan di galaksi. Siapa bisa mengalahkan Brasil, dia sampai di ujung batas dunia bola, dia sampai di “Nirwana Bola”. Titik Ma’rifat perjalanan sebuah Tim. Di Nirwana, tiada lagi bola, yang ada hanyalah PIALA. Atau balasan surgawi berupa regukan kenikmatan tiada bertepi. Kesebelasan Brazil adalah impian bagi banyak orang, termasuk anak saya.

Kita lihat Kesebelasan Australia tadi malam. Mereka bersusah payah mengerahkan segala yang mereka punya untuk mendobrak pertahanan Brasil. Permainan Australia terbilang cantik tadi malam, tapi untuk mengatasi Brazil mereka masih perlu baca banyak buku lagi. Mereka harus mengakui, mengalahkan Brasil hanya sebuah utopia belaka. Atau seperti yang dikatakan Jacques Derrida, tokoh posmodernis Prancis, yang mengatakan itu adalah suatu l’im-possible (sebuah ketidak-mungkinan).

Hal lain yang saya kagumi dari tim Brasil adalah bahwa mereka berasal dari negara yang hampir sama susahnya dengan kita. Kondisi ekonominya tidak membanggakan, utang luar negerinya cukup tinggi, kemiskinan dan pengangguran tinggi. Anak jalanan, gelandangan, favela (perkampungan kumuh) dan favelado (anak2 penghuni kampung kumuh) banyak bertebaran dan menjadi latar belakang pada pemain Brasil. Ronaldinho berasal dari sana, Ronaldo juga besar di kawasan kumuh. Persis seperti kawasan kumuh kita di Senin, Jatinegara, Tanah Abang dll.

Tim Brasil muncul sebagai impian, sebagai harapan. Bahwa meski hidup miskin dan susah, mereka bisa maju dan berhasil. Komentator TV Brasil El Globo semalam mengatakan bahwa
di lapangan, mereka bukan sekedar 11 orang atlet yang sedang berlaga. Tapi di sana terhampar impian, yang menyamar sebagai sebuah kesebelasan sepak bola. Ronaldo dan Ronaldinho hanyalah samaran atas impian dari cita-cita rakyat brasil. Impian yang memperlihatkan kepada dunia apa yang ingin mereka ceritakan. Perumpamaannya, tim sepakbola hanya syariat. Tapi semangat dan kerja keras adalah hakikat. Para pemain itulah yang menghidupi semangat para favelado dan masyarakat Brasil.

Hal ini seperti yang diungkapkan D.A Rindes dalam bukunya Nine Saints of Java yang mengibaratkan buah kelapa sebagai metafora atas hakikat dan syariat. Ibadah sebagai nyiur dan shariat hanya kulitnya. ”Kulitnya itu ibarat shariat. Tempurungnya itu ibarat Tarikat,
Isinya itu ibarat Hakikat. Minyaknya itu ibarat ma’rifat”


Kesebelasan Brazil adalah shariat, kulit semata. Di balik itu ada tarikat, ada hakikat, dan ada ma’rifat. Di balik kesebelasan Brazil, ada kerja keras, ada konsistensi, ada disiplin, ada integritas.
Dan yang terpenting, ada kemauan untuk menunda kesenangan (deffered gratification).
Saat teman sebayanya tidur, Ronaldhinho bangun jam 4 pagi untuk menendang-nendang bola.
Saat teman sebayanya bermalas2an di siang hari, Ronaldhinho melatih fisiknya berlari di pantai Rio yang terik, Keajegan dalam berlatih adalah kunci sukses Ronaldinho. Untuk itu, ia rela kehilangan kesenangan-kesenangan di masa mudanya.

Moral bagi bangsa ini, kita perlu kerja lebih keras. Perlu lebih serius, ajeg, dan perlu menunda kesenangan-kesenangan untuk masa depan yang lebih baik. Mari kita belajar dari Gaya Brazil. Mari kita saksikan Piala Dunia dari sisi Spiritual.

Mendengar itu, anak saya cuma diam saja. Entah bingung, entah dipikir bapaknya ngawur.
Dia hanya duduk kembali ke meja belajarnya.
Membuka buku, membaca, dan belajar. Mungkin ia ingin seperti Ronaldinho.
Atau mungkin dia hanya ingin Bapaknya diam...... shut up Dad !!

Thursday, June 15, 2006

Mengenang Patriotisme Ahn Jung-Hwan

Satu hal menarik yang perlu menjadi catatan adalah pertandingan Korea Selatan lawan Togo di pertandingan pembuka Piala Dunia 2006 (13/6). Ahn Jung-Hwan, penyerang Korea Selatan yang mirip bintang film Korea, malam itu kembali jadi pahlawan. Satu gol yang dilesakkannya ke gawang Togo, membawa Korea menang 2 – 1.

Ahn Jung-Hwan adalah kisah tentang integritas dan patriotisme. Masih ingat kejadian pada piala dunia 2002 lalu? 18 Juni 2002, di perempat final, Korea harus berhadapan dengan Italia. Pertandingan untuk lolos ke semifinal. Pagi hari sebelum pertandingan, Ahn Jung-Hwan bangun tidur dengan perasaan galau dan resah. Ia selama ini bermain di klub papan atas Italia, Perugia.
Klub itulah yang membesarkan namanya dan memberi pengalaman sepak bola sesungguhnya.
Malam itu ia dihadapkan pada pilihan untuk bermain melawan ”teman2”nya di Italia atau mengalah menghadapi publik Italia.

Pressure yang berat dirasakan oleh remaja Ahn Jung Hwan. Publik Italia mengharapkan ia tidak mencetak gol saat melawan Italia. Bahkan kabarnya Mafioso-mafioso Itali mengancamnya untuk tidak bermain optimal, apalagi sampai mencetak gol. Klubnya, Peruggia, meminta Ahn JungHwan untuk ”menghormati” Italia sebagai tempatnya bekerja. Untuk itu, ia ditawarkan menjadi pemain utama, fasilitas apartemen mewah, mobil sport edisi anyar, gaji yang jauh dari cukup. Asalkan jangan main serius saat melawan Italia.

Ahn Jung Hwanpun termangu di persimpangan jalan. Tahun itu adalah tahun perjuangan, antara integritasnya sebagai anak bangsa, atau keuntungan pribadinya yang menjadi jaminan sukses masa depan. Saat pertandingan, Italia memimpin 1-0 sampai menjelang pertandingan usai. Di menit2 terakhir, Korea menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Perpanjangan waktu.
Dan saat itulah Ahn Jung-Hwan memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri....
Ia melesakkan ”Golden Goal” yang menghempaskan Italia pulang kampung. Skor 2-1 utk Korea. Koreapun melesat ke semifinal, Italia terpuruk dan mengemas koper, pulang lebih cepat.

Masalahnya tak usai di situ. Ahn Jung-Hwan harus menerima akibat perbuatannya.
Ia dipecat dan diusir dari Perugia. Bahkan dari Italia. Ia dimusuhi publik Italia.
Luciano Gaucci, Presiden Perugia football club, Ahn Jung Hwan's boss, mengatakan
“That gentleman will never set foot in Perugia again,”
“I have no intention of paying a salary to someone who has ruined Italian soccer.'”
Sungguh begitu kerdil sepakbola Italia. Masyarakat Italiapun diam, seolah mendukung pengusiran Ahn Jung-Hwan. Sejak itulah respek saya pada Perugia hilang. Respek saya pada sepak bola Italia turun. Italia tak lebih dari sebuah klub yang tak mampu menerima keterbukaan dan adanya perbedaan…

Ahn Jung-Hwan akhirnya harus angkat koper dari Italia. Kini ia merumput pada klub kecil di Jerman. Tak terkenal memang. Tapi ia bangga. Ia bangga sebagai orang yang membela Integritas Dirinya. Ia bangga mempertahankan Integritas dan Patriotisme kebangsaan di atas kepentingan pribadinya....

Dan malam pertandingan perdana itu, Ahn JungHwan kembali mencetak gol penentu kemenangan Korsel atas Togo. Inilah arti Disispilin dan Integritas yang patut kita contoh. Semoga Korea melaju dan melaju terus tahun ini... Chung Mong-joon, ketua persatuan sepak bola Korea mengatakan ”Keajaiban Korea dapat membantu kita mewujudkan lagi keajaiban di Sungai Han. Saat Kita Bangkit dari krisis.”

Tuesday, June 13, 2006

Mukjizat 6 menit

What A Game !! What A Match !! What A Day !! Australia - 3, Japan – 1.
Begitu komentator TV menutup pertandingan semalam antara Australia melawan Jepang.
Pada pertandingan perdana… Inggris tampil membosankan. Belanda tampil mengecewakan. Jerman tampil penuh kerapuhan. Tapi Australia, malam tadi, menyajikan sebuah drama yang mengesankan. Australia membuat mukjizat dalam 6 menit. Mereka mengubah lesu jadi tawa, mengubah muram jadi senyum. Pada malam itu, even the referee was smiling ..

Konsistensi, Persistensi, dan Spirit yang tidak padam ditunjukkan oleh para pemain Australia. Waktu 32 tahun adalah penantian panjang bagi mereka untuk tampil di Piala Dunia. Jangan sampai impian itu harus cemar gara-gara 1 gol dari Jepang. Jepang unggul lebih dulu di menit ke 26, dan memimpin sampai menit ke 84. Australia mati-matian menembus gawang Jepang yang dijaga ketat. Sungguh membuat Frustrasi.

Tapi disinilah kegeniusan Guus Hidink diuji. Dalam situasi krisis, kita dituntut untuk berpikir cepat, bahkan harus nyeleneh, kalau perlu berpikir keluar dari kotak (thinking out of the box).
Apa yang ia lakukan? Sebuah hal yang absurd dan penuh risiko. Ia menarik pemain belakang/pertahanannya dan menggantinya dengan penyerang. Cahill dan Alaiso, penyerang/tengah, masuk. Lini belakang dibiarkan agak kosong. Sungguh sebuah risiko yang agak nekat. Perhitungan Hiddink tak salah. Menit ke 82, 6 menit sebelum pertandingan usai, Cahill menjebol gawang Jepang. Delapan menit selanjutnya, Cahill dan Alaiso berturut2 membobol gawang Jepang. Jepang terhenyak. Jepang tertunduk. Dan Jepangpun lesu. Keunggulan mereka raib dalam 6 menit....

Ini mengingatkan kita pada pertandingan piala Champion tahun 1999 antara MU dan Bayern Munchen. Dalam waktu 112 detik, kemenangan Bayern sirna oleh dua gol MU.

Moral of the game, Pertama, konsisten pada pekerjaan akan membuahkan hasil yang diharapkan. Kedua, kita kadang dihadapkan pada pilihan yang berisiko. Tetapi hanya mereka yang berani berisiko akan meraih kemenangan. Guus Hidink salah satunya. Keberanian berisiko adalah tanda bahwa anda bertekad menentang kekalahan, seandainya kekalahan itu dijatahkan kepada anda sebagai nasib. Ketiga, kunci sukses Australia terletak pada tekad pemain untuk tidak menyerah, apapun kondisi yang menimpa mereka. Tekan itulah yang dinamakan spirit. Taktik dan teknik memang perlu, tetapi yang menentukan kemenangan kami adalah spirirt yang berkehendak untuk menang.