Football is Life

Thursday, July 06, 2006

To be Machiavelli or Michelangelo?

Jerman Menangis. Dua menit terakhir di sessi perpanjangan waktu, telah menghancurkan impian mereka. Italialah yang menghancurkan impian itu. Komentator TV memulai pertandingan dengan pernyataan, Italia punya dua pilihan, to be Machiavelli or Michelangelo?. Dan, seperti kita semua, hidup ini adalah masalah pilihan. Marcello Lippi, pelatih Italia, memilih untuk mengguratkan keindahan dan seni artistik Michelangelo di lapangan. Sistem “Catenaccio” (sistem pertahanan ketat / grendel di lini belakang) yang dikomando oleh Cannavaro bukan main menawan. Tak bisa ditembus oleh pemain Jerman. Filsafat dasar catenaccio adalah ”bertahan adalah format terbaik serangan”. Tapi Marcello Lippi tak terpaku pada catenaccio yang kaku. Ia menambahkan unsur atraktifitas dan kreatifitas. Untuk itulah ia memasukkan Del Piero di ujung waktu. Gerakannya sunggguh menambah goresan warna-warni Italia di lapangan hijau. Geraknya menggugah lini depan Italia, dua gol langsung disarangkan Italia, tak lama setelah Del Piero dimasukkan. Satu gol bahkan disumbangkan olehnya, justru di detik terakhir pertandingan perpanjangan waktu (menit 121+). Jermanpun tersungkur dan menangis, tragis memang.

Penyair Jerman Goethe mengatakan ”Die Tat ist alles, nichts der Ruhm” (perbuatan adalah segalanya, bukan nama harum). Nilai inilah yang dijadikan semboyan hidup Michael Ballack. ”Rapor nilai kita adalah kenyataan di lapangan,” itulah yang terus menerus diyakini dan dikobarkan oleh Ballack pada rekan-rekannya di tim Jerman. Nyatanya, Ballack dinegasikan oleh semboyannya sendiri karena kekalahan yang menyesakkan di lapangan. Stadion Dortmund basah oleh tangisan Jerman. Kita lihat tadi pagi, Angela Merkel, Kanselir Jerman, hanya bisa termangu di kursi VIP. Ia yang paling merasakan kepedihan itu. Memang, omongan dan kata-kata saja tak cukup. Sebelum pertandingan, optimisme sangat besar di kubu Jerman. Bierhoff, penyerang senior Jerman, mengatakan, “setiap orang dapat melihat bahwa kita adalah klub terbaik di dunia. Kita telah melaju cukup jauh dan sedikit lagi memenangi Piala Dunia”. Percaya diri begitu mewarnai Jerman. “Kita selalu yakin bisa memenangkan pertandingan melawan Italia.”

Tapi sepakbola mengajari kita ‘realisme lapangan’. Secara intensif, ajaran itu telah merasuki kita. Karenanya, masyarakat sekarang tak lagi mudah percaya dan tertipu oleh omongan. Janji-janji untuk melakukan ini atau itu, tak begitu saja dipercaya di lapangan. Silakan anda bicara, tapi menurut realisme bola, jika omongan kita tidak menjadi kebenaran dan kenyataan di lapangan, berarti anda gagal dan harus siap terusir dari lapangan. Demikian pula dengan janji-janji politisi, pemerintah, bahkan bank sentral. Nama harum atau ”ganteng” saja tak cukup (mengutip Emha Ainun Nadjib). Oleh karenanya, dalam sikap kita bekerja dan berkarya, filosofi Goethe nampaknya perlu kita pahami. Bahwa kita perbuatan lebih penting dari perkataan.

Hidup ini pada akhirnya memang sebuah pilihan. To be Machiavelli or Michelangelo? sepenuhnya ada di tangan kita....

(tulisan ini dibuat usai menyaksikan Pertandingan semifinal Piala Dunia 2006 antara Italia vs Jerman, 5 Juli 2006)