Football is Life

Tuesday, June 20, 2006

Tim Brazil adalah Impian

Ada satu hal yang jadi perhatian saya dari pertandingan Tim Brasil tadi malam. Anak saya di rumah begitu gandrungnya dengan mereka. Padahal saya sendiri mendukung Tim Inggris. Kita selalu berdebat soal yang satu ini. Logika dia sih masuk akal. Di Brazil ada Ronaldinho, Ronaldo, Roberto Carlos. Betul-betul Los Galacticos. Plus gaya permainan mereka yang menawan dan menari di lapangan. Mereka adalah kesebelasan negara terhebat di dunia, bahkan di galaksi. Siapa bisa mengalahkan Brasil, dia sampai di ujung batas dunia bola, dia sampai di “Nirwana Bola”. Titik Ma’rifat perjalanan sebuah Tim. Di Nirwana, tiada lagi bola, yang ada hanyalah PIALA. Atau balasan surgawi berupa regukan kenikmatan tiada bertepi. Kesebelasan Brazil adalah impian bagi banyak orang, termasuk anak saya.

Kita lihat Kesebelasan Australia tadi malam. Mereka bersusah payah mengerahkan segala yang mereka punya untuk mendobrak pertahanan Brasil. Permainan Australia terbilang cantik tadi malam, tapi untuk mengatasi Brazil mereka masih perlu baca banyak buku lagi. Mereka harus mengakui, mengalahkan Brasil hanya sebuah utopia belaka. Atau seperti yang dikatakan Jacques Derrida, tokoh posmodernis Prancis, yang mengatakan itu adalah suatu l’im-possible (sebuah ketidak-mungkinan).

Hal lain yang saya kagumi dari tim Brasil adalah bahwa mereka berasal dari negara yang hampir sama susahnya dengan kita. Kondisi ekonominya tidak membanggakan, utang luar negerinya cukup tinggi, kemiskinan dan pengangguran tinggi. Anak jalanan, gelandangan, favela (perkampungan kumuh) dan favelado (anak2 penghuni kampung kumuh) banyak bertebaran dan menjadi latar belakang pada pemain Brasil. Ronaldinho berasal dari sana, Ronaldo juga besar di kawasan kumuh. Persis seperti kawasan kumuh kita di Senin, Jatinegara, Tanah Abang dll.

Tim Brasil muncul sebagai impian, sebagai harapan. Bahwa meski hidup miskin dan susah, mereka bisa maju dan berhasil. Komentator TV Brasil El Globo semalam mengatakan bahwa
di lapangan, mereka bukan sekedar 11 orang atlet yang sedang berlaga. Tapi di sana terhampar impian, yang menyamar sebagai sebuah kesebelasan sepak bola. Ronaldo dan Ronaldinho hanyalah samaran atas impian dari cita-cita rakyat brasil. Impian yang memperlihatkan kepada dunia apa yang ingin mereka ceritakan. Perumpamaannya, tim sepakbola hanya syariat. Tapi semangat dan kerja keras adalah hakikat. Para pemain itulah yang menghidupi semangat para favelado dan masyarakat Brasil.

Hal ini seperti yang diungkapkan D.A Rindes dalam bukunya Nine Saints of Java yang mengibaratkan buah kelapa sebagai metafora atas hakikat dan syariat. Ibadah sebagai nyiur dan shariat hanya kulitnya. ”Kulitnya itu ibarat shariat. Tempurungnya itu ibarat Tarikat,
Isinya itu ibarat Hakikat. Minyaknya itu ibarat ma’rifat”


Kesebelasan Brazil adalah shariat, kulit semata. Di balik itu ada tarikat, ada hakikat, dan ada ma’rifat. Di balik kesebelasan Brazil, ada kerja keras, ada konsistensi, ada disiplin, ada integritas.
Dan yang terpenting, ada kemauan untuk menunda kesenangan (deffered gratification).
Saat teman sebayanya tidur, Ronaldhinho bangun jam 4 pagi untuk menendang-nendang bola.
Saat teman sebayanya bermalas2an di siang hari, Ronaldhinho melatih fisiknya berlari di pantai Rio yang terik, Keajegan dalam berlatih adalah kunci sukses Ronaldinho. Untuk itu, ia rela kehilangan kesenangan-kesenangan di masa mudanya.

Moral bagi bangsa ini, kita perlu kerja lebih keras. Perlu lebih serius, ajeg, dan perlu menunda kesenangan-kesenangan untuk masa depan yang lebih baik. Mari kita belajar dari Gaya Brazil. Mari kita saksikan Piala Dunia dari sisi Spiritual.

Mendengar itu, anak saya cuma diam saja. Entah bingung, entah dipikir bapaknya ngawur.
Dia hanya duduk kembali ke meja belajarnya.
Membuka buku, membaca, dan belajar. Mungkin ia ingin seperti Ronaldinho.
Atau mungkin dia hanya ingin Bapaknya diam...... shut up Dad !!