Football is Life

Sunday, July 02, 2006

Air Mata Inggris mengalir lagi

Malam itu, saya menangis. Sayapun tak kuat menahan aliran air mata. Kesebelasan Inggris seperti terkena kutukannya kembali. Ia harus tersisih dari pertandingan setelah kalah dalam adu penalti. Ingat Italia ’90, Euro ’96, Perancis ’98, dan Euro 2004, kesemuanya berakhir dengan kekalahan adu penalti. Di Jerman 2006, kepedihan itu terulang. Dari 5 tendangan penalti, hanya satu yang berhasil. Sementara Frank Lampard, Steven Gerrard, dan Jamie Caragher, gagal mengeksekusi penalti. Dan rerumputan hijau di stadion Arena Aufschalke, kota Gelsenkirchen, itupun basah oleh air mata dan kesedihan anak-anak manusia yang gagal memperebutkan mahkota kejayaan. Di sana juga terkubur harapan rakyat Inggris untuk mengembalikan the old glory of England, dan menepati janji Football is coming home. Memang, sabtu malam itu, anak-anak Inggris menangis, wanita-wanitanya merasa patah, dan kaum lelakinya seperti kehilangan akal. Mereka tak dapat terhiburkan, bahwa ini semua hanyalah permainan.

Sungguh memilukan melihat Rio Ferdinand, pemain belakang Inggris, duduk di rumput stadion menangis sesunggukan. Tangis Ferdinand adalah kehancuran dan kepedihan Inggris. Ferdinand menyeka airmatanya dengan kaos putih Inggris. Namun airmata itu tak mau berhenti mengalir. Teman-temannya datang menghibur, tapi air mata itu tak tertahankan, ia terus tumpah dan mengalir. Bayangkan, Ferdinand dengan gagah selama 120 menit menjaga zona pertahanan Inggris. Bahkan dengan 10 pemain, setelah Wayne Rooney memperoleh kartu merah, Ferdinand tetap membuat pertahanan Inggris tak mampu dijebol oleh serangan Portugal. Inggris bahkan menguasai permainan. Berbagai peluang berbahaya untuk mencetak gol tercipta, meski hanya dengan 10 pemain. Sungguh tragis, itulah sepakbola.

Henry Winter menulis, The Three Lions, julukan bagi tim Inggris, memang menguasai hampir seluruh jalannya permainan. Tapi mereka hanyalah anak kucing tak bernyali untuk urusan tendangan 12 pas. Inggris selama ini mengklaim bahwa mereka selalu berlatih serius dan rajin untuk sebuah turnamen dengan dedikasi seorang atlet Olimpiade. Mereka justru mengabaikan satu hal yang selalu mengantar mereka ke jalur menuju final. Berlatih tendangan Penalti!!!. Kalau mereka adalah tim terkenal di dunia internasional, seharusnya mereka belajar dari kesalahan. Bahwa mereka selalu tersingkir karena urusan Penali ini. Memang Penalti lebih pada urusan mental, tapi ingat apa kata pemain Inggris dulu usai mereka gagal mengeksekusi penalti, ”Saya tidak pernah berlatih Penalti sebelum ini”. Seluruh dunia mencecar kenapa para pelatih Inggris tidak pernah berlatih penalti, sementara tim lain selalu menutup sessi latihan dengan penalti. Mereka semua beralasan bahwa tekanan pada hari pertandingan tidak bisa dijiplak di kamp latihan yang kosong penonton. Tidak ada yang bisa mempersiapkan seorang pemain untuk ”berjalan dari garis tengah dihajar terpaan jutaan pasang mata... saat itu, gawang mengecil... kiper musuh membesar, dan lain-lain”.

Arogan memang. Tapi itulah Inggris. Mereka terlalu klasik dalam berlatih. Erikkson, pelatih Inggris dari Swedia, memang telah mencoba untuk melakukan laihan penalti. Tapi hal itu terlambat. Para pemain tak pernah mau membiasakan diri secara serius untuk berlatih penalti. Hanya Hargreaves seorang yang terus menerus berlatih penalti secara serius. Dan ia menjadi satu-satunya pemain inggris yang berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Hargreaves mampu bergerak dan berpikir melewati kebiasaan yang sudah ada. Comfort Zone dalam latihan Inggris, yang sudah menjadi tradisi selama ribuan tahun, mampu didobrak oleh Hargreaves. Saat teman-temannya selesai berlatih, ia melanjutkan satu jam lagi untuk menendang penalti. Ini pula yang dulu dilakukan oleh Alan Shearer dan Gary Lineker, juga pemain Inggris. Mereka tak pernah gagal dalam penalti. Mereka semua berhasil menunaikan tugas dengan baik. Mereka mampu mendobrak kotak berpikir klasik (thinking out of the box). Memang, kenyamanan dalam hidup dan bekerja, kadang membuat kita malas melakukan hal yang tidak biasa. Padahal, mungkin itu adalah pekerjaan yang lebih baik. Disiplin dan kreativitas adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Itu mungkin pelajaran bagi kita dari kekalahan Inggris.... so long England, selamat jalan.