Belajar dari Hajar Menghajar
Sebelum kita terjebak pada diskusi yang panjang mengenai kasus Zidane menyeruduk Matterazzi, ada baiknya kita membuka-buka lembaran “hajar menghajar” di Piala Dunia selama ini. Sebetulnya hal seperti ini biasa dalam olahraga, khususnya sepakbola. Ia akan menjadi catatan sejarah. Kemudian kita ambil maknanya. Ada dua kasus yang bisa kita jadikan pelajaran.
Pertama, inget ga waktu Piala Dunia tahun 1990? Jerman vs Belanda, saat itu, Frank Rijkaard meludahi Rudi Voller. Saya masih ingat banget karena nonton di TV pas siaran langsung. Kasus ini kemudian menjadi berita besar seperti saat ini, dibahas berhari-hari di koran. Apa yang dikatakan Voller pada Rijkaard dan sebaliknya? Isu rasisme dll muncul. Kita tahu, Jerman dan Belanda adalah musuh bebuyutan. Setiap pertemuan mereka, begitu banyak dendam, nafsu, dan amarah yang meruap. Sarat dengan emosi dan melebar meluas lebih dari sekedar olahraga. Belanda selalu menyimpan dendam sejak Jerman menginvasi negerinya pada PD II. Pertemuan mereka pertama kali sejak perang dunia II adalah saat Piala Dunia Tahun 1974 di partai final. Wim van Hanegem, gelandang Belanda waktu itu, mengatakan,”Setiap kali aku bertemu Jerman, aku merasa marah. Mereka membunuh 80% dari keluargaku saat perang. Aku tidak berpikir kemenangan 1-0 saja cukup. Kami harus menghancurkan mereka.” Namun Belanda kemudian kalah. Sejak saat itu pers ikut-ikutan memanas-manasi setiap pertemuan Jerman vs Belanda. Dasar nasib, Belanda kalah terus. Baru pada tahun 1988, Belanda berhasil membalas dendam dengan mengalahkan Jerman 2-1.
Tahun 1990, dendam masih ada. Insiden ”ludah meludah” terjadi. Saat pertandingan baru mulai, Adrie van Tigellen udah melukai Pierre Litsbarski? Puncaknya ya itu, Rijkaard ngeludahin Voller. Keduanya nyaris terlibat baku pukul. Wasit akhirnya mengusir keduanya. Gue sampe ketawa ngeliatnya. Eh ternyata tak berhenti di situ. Saat keduanya menuju kamar ganti, Rijkaard kembali meludahi Voller dan mencekik lehernya. Voller dihukum untuk satu pertandingan dan Rijkaard untuk tiga pertandingan.
Kebencian mereka meruyak. Para penggemar juga. Tapi... apa benar begitu? Ternyata tidak juga. Saat ini Rijkaard dan Voller selalu tertawa saat mengingat kejadian itu. Mereka kini justru menjadi teman. ”Aku berteman dengan Frank sekarang, meskipun perlu waktu. Kita telah saling memaafkan. Kami sama-sama main di Liga Italia dan tidak pernah memiliki masalah..” demikian kata Voller. Kebencian yang meruyak pada akhirnya menjadi persahabatan yang erat. Frank Rijkaard bercerita bahwa saat pertandingan itu ia sedang menghadapi masalah besar. Ia sedang menghadapi perceraian. Dia tak menjadi manusia seperti biasa. ”Akupun memahami masalahnya.” sambung Voller.
Kedua, kita mundur ke belakang lagi. Ingat ga kasus kiper Jerman, Harald Schumacher, saat Piala Dunia 1982? Jerman vs Perancis. Ceritanya, pemain Perancis, Patrick Battiston sedang berlari membawa bola menuju gawang Schumacher. Tiba-tiba, Schumacher maju sekaligus menabrak wajah Battiston dengan lututnya. Battiston jatuh pingsan, giginya rontok, rahangnya patah. Inilah pelanggaran terburuk Piala Dunia. Parahnya, sang wasit cuek aja. Pertandingan tetap dilanjutkan, bahkan tak ada tendangan bebas bagi Perancis.
Jerman saat itu menang, setelah Schumacher berhasil menepis dua tendangan adu penalti dan membawa Jerman lolos ke final. Banyak orang tak bisa memaafkan kejadian itu. Publik Perancis membela mati-matian Battiston, persis seperti Zidane sekarang (meski di sisi yang berbeda), dan mencela habis-habisan kelakuan Schumacher.
Apakah kebencian tetap meruyak antara Battiston dan Schumacher? Ternyata tidak. Mereka justru sekarang menjadi teman baik. Battiston bukan seorang pendendam. Ia seorang yang santun dan mau memaafkan. Dia justru mengundang Schumy hadir di pernikahannya.
Apa arti dari semua ini? Sepakbola adalah olahraga yang keras. Memaki, memukul, meludah, bahkan menanduk seperti Zidane adalah hal yang wajar di lapangan. Hampir semua pemain bola melakukan hal itu. Biasanya setelah itu, mereka saling bersahabat dengan lawan-lawannya. Banyak yang saling mendiskusikan insiden yang terjadi antara mereka sambil tertawa. Demikian pula untuk kasus Zidane. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan.
Marilah kita contoh laku para pemain sepakbola, santun, tak menyimpan dendam, dan saling memaafkan diantara mereka. Itulah makna olahraga. Itulah sikap sportif. Nelson Mandela berkata, bangsa yang maju adalah bangsa yang mau memaafkan, walau tidak melupakan....
Pertama, inget ga waktu Piala Dunia tahun 1990? Jerman vs Belanda, saat itu, Frank Rijkaard meludahi Rudi Voller. Saya masih ingat banget karena nonton di TV pas siaran langsung. Kasus ini kemudian menjadi berita besar seperti saat ini, dibahas berhari-hari di koran. Apa yang dikatakan Voller pada Rijkaard dan sebaliknya? Isu rasisme dll muncul. Kita tahu, Jerman dan Belanda adalah musuh bebuyutan. Setiap pertemuan mereka, begitu banyak dendam, nafsu, dan amarah yang meruap. Sarat dengan emosi dan melebar meluas lebih dari sekedar olahraga. Belanda selalu menyimpan dendam sejak Jerman menginvasi negerinya pada PD II. Pertemuan mereka pertama kali sejak perang dunia II adalah saat Piala Dunia Tahun 1974 di partai final. Wim van Hanegem, gelandang Belanda waktu itu, mengatakan,”Setiap kali aku bertemu Jerman, aku merasa marah. Mereka membunuh 80% dari keluargaku saat perang. Aku tidak berpikir kemenangan 1-0 saja cukup. Kami harus menghancurkan mereka.” Namun Belanda kemudian kalah. Sejak saat itu pers ikut-ikutan memanas-manasi setiap pertemuan Jerman vs Belanda. Dasar nasib, Belanda kalah terus. Baru pada tahun 1988, Belanda berhasil membalas dendam dengan mengalahkan Jerman 2-1.
Tahun 1990, dendam masih ada. Insiden ”ludah meludah” terjadi. Saat pertandingan baru mulai, Adrie van Tigellen udah melukai Pierre Litsbarski? Puncaknya ya itu, Rijkaard ngeludahin Voller. Keduanya nyaris terlibat baku pukul. Wasit akhirnya mengusir keduanya. Gue sampe ketawa ngeliatnya. Eh ternyata tak berhenti di situ. Saat keduanya menuju kamar ganti, Rijkaard kembali meludahi Voller dan mencekik lehernya. Voller dihukum untuk satu pertandingan dan Rijkaard untuk tiga pertandingan.
Kebencian mereka meruyak. Para penggemar juga. Tapi... apa benar begitu? Ternyata tidak juga. Saat ini Rijkaard dan Voller selalu tertawa saat mengingat kejadian itu. Mereka kini justru menjadi teman. ”Aku berteman dengan Frank sekarang, meskipun perlu waktu. Kita telah saling memaafkan. Kami sama-sama main di Liga Italia dan tidak pernah memiliki masalah..” demikian kata Voller. Kebencian yang meruyak pada akhirnya menjadi persahabatan yang erat. Frank Rijkaard bercerita bahwa saat pertandingan itu ia sedang menghadapi masalah besar. Ia sedang menghadapi perceraian. Dia tak menjadi manusia seperti biasa. ”Akupun memahami masalahnya.” sambung Voller.
Kedua, kita mundur ke belakang lagi. Ingat ga kasus kiper Jerman, Harald Schumacher, saat Piala Dunia 1982? Jerman vs Perancis. Ceritanya, pemain Perancis, Patrick Battiston sedang berlari membawa bola menuju gawang Schumacher. Tiba-tiba, Schumacher maju sekaligus menabrak wajah Battiston dengan lututnya. Battiston jatuh pingsan, giginya rontok, rahangnya patah. Inilah pelanggaran terburuk Piala Dunia. Parahnya, sang wasit cuek aja. Pertandingan tetap dilanjutkan, bahkan tak ada tendangan bebas bagi Perancis.
Jerman saat itu menang, setelah Schumacher berhasil menepis dua tendangan adu penalti dan membawa Jerman lolos ke final. Banyak orang tak bisa memaafkan kejadian itu. Publik Perancis membela mati-matian Battiston, persis seperti Zidane sekarang (meski di sisi yang berbeda), dan mencela habis-habisan kelakuan Schumacher.
Apakah kebencian tetap meruyak antara Battiston dan Schumacher? Ternyata tidak. Mereka justru sekarang menjadi teman baik. Battiston bukan seorang pendendam. Ia seorang yang santun dan mau memaafkan. Dia justru mengundang Schumy hadir di pernikahannya.
Apa arti dari semua ini? Sepakbola adalah olahraga yang keras. Memaki, memukul, meludah, bahkan menanduk seperti Zidane adalah hal yang wajar di lapangan. Hampir semua pemain bola melakukan hal itu. Biasanya setelah itu, mereka saling bersahabat dengan lawan-lawannya. Banyak yang saling mendiskusikan insiden yang terjadi antara mereka sambil tertawa. Demikian pula untuk kasus Zidane. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan.
Marilah kita contoh laku para pemain sepakbola, santun, tak menyimpan dendam, dan saling memaafkan diantara mereka. Itulah makna olahraga. Itulah sikap sportif. Nelson Mandela berkata, bangsa yang maju adalah bangsa yang mau memaafkan, walau tidak melupakan....