Perancis Nan Tragis
tulisan ini saya buat usai menyaksikan Final Piala Dunia 2006, 10 Juli 2006, antara Italia vs Perancis. Italia menang melalui Adu Penalti
Grosso, ia yang menusuk patah hati Jerman. Pagi tadi, ia kembali menusuk patah hati bangsa Perancis…. Golnya dari titik penalti menghabisi perjuangan Perancis. Squadra Azzuri menjadi Juara Dunia 2006. Di tengah skandal dan masalah yang menyelimuti persepakbolaan Italia, Marcello Lippi membuktikan bahwa kedisiplinan yang kreatif mampu memenangkan pertandingan. Italia mampu merenggut cahaya menara Eiffel. Zinedine Zidane, yang ingin mengakhiri karirnya dengan manis, justru harus berakhir tragis. Bukan saja ia tak mendapatkan Piala Dunia, tapi ia juga harus diusir dari lapangan karena berbuat kasar pada Matterazi. Padahal, Zidane adalah salah satu nominator pemain terbaik Piala Dunia 2006. Mengapa ia memilih berbuat seperti itu? Masih misteri. Sungguh, nasib Perancis yang tragis. Sekeluarnya Zidane dari lapangan, aura kekalahan seperti menghembuskan nafas mautnya pada kesebelasan Perancis. Ruh kesebelasan Perancis bak tercerabut seiring dengan keluarnya Zidane, yang tampak lesu melewati Piala yang tak mungkin diraihnya. Sebaliknya Italia, tampil makin penuh percaya diri. Lini belakang yang dikomandoi Cannavaro, tetap disiplin sampai akhir. Mereka hanya kemasukan dua gol selama pertandingan piala Dunia. Seluruh eksekutor penalti, menyantap habis tendangan mereka. Italia memang pantas jadi Juara.
Usai sudah Piala Dunia. Tiga puluh dua hari sudah kita terbuai dalam keriaan, tawa, canda, drama, tragedi, dan tangis, bersama seluruh warga dunia. Kini kita kembali ke dunia nyata. Namun, sebagaimana ibadah puasa bagi umat beragama, tiga puluh dua hari ibadah ritual nonton sepakbola (yang notabene juga sering bangun malam) juga harus punya makna. Bahwa ini bukanlah akhir, justru awal dari sebuah perbaikan kehidupan. Piala Dunia adalah hari-hari bangun malam untuk melakukan perenungan dan pelatihan diri. Jangan sampai semua itu menjadi sia-sia dan tak memiliki makna moral. Ada tiga pelajaran yang gue coba ingat-ingat dan renungkan pagi tadi dari piala Dunia tahun ini.
Pelajaran pertama, tim terbaik belum tentu meraih juara. Kita melihat banyak contoh. Inggris misalnya, diperkuat oleh para pemain terbaik dunia di segala lini. Brazil juga gitu. Pemainnya adalah para idola anak muda sekarang. Mereka juga memiliki gaya permainan yang menawan dan enak ditonton. Belanda, meski harus keluar paling awal, adalah tim yang menonjolkan permainan cantik dan klasik. Di tengah minimnya gol pada piala dunia ini, benar kata Johan Cruyf dulu, ”jangan sampai keinginan menjadi juara membuat orang lupa bermain indah”. Itulah semangat sport sejati, bola harus menghibur, bola harus indah, dan bola harus memukau. Jika ternyata hasilnya adalah kekalahan, kekalahan itu masih mengandung kemenangan.
Ini emang kedengerannya ga logis, apalagi buat mereka yang berpendapat bahwa hasil yang paling penting. Tentu ini berbeda dengan filsafat hidup beragama. Dalam kesalehan, kita kan diajarkan untuk tidak boleh hanya meraih hasil, tanpa memikirkan cara terindah dan terjujur dalam mendapatkannya. Tanpa cara yang tepat dan baik, hidup yang hanya memburu target hasil, bisa menjadi tidak bertanggungjawab dan amoral.
Pelajaran kedua, asas bola adalah kompetensi, bukan keunggulan yang lain. Park Ji Sung, Didier Drogba, Ronaldhinho, bukanlah bangsa Eropa. Tapi mereka memiliki kompetensi tinggi untuk bersaing dengan bangsa Eropa yang notabene adalah negara maju. Maksimalisasi kompetensi diri inilah yang perlu kita pakai dalam membangun bangsa dan bekerja.
Pelajaran ketiga, kerja keras dan budaya adalah unsur utama yang tak boleh dilupakan dalam pembangunan ekonomi ataupun pembangunan lainnya. Kita lihat seluruh wakil Asia gagal di Piala Dunia. Bukan karena mereka bermain jelek, tapi mereka memang masih harus banyak belajar. Dalam bola, sebagaimana halnya kehidupan, tak ada yang namanya jalan pintas. Kita harus tekun dan disiplin membangun kultur, atau budaya untuk menunjangnya. Inggris, Italia, Jerman, Belanda, adalah negara-negara yang telah jauh hari membangun kultur sepakbola mereka.Bukan sebuah jalan singkat.
Visi dan misi kita dalam hidup nampaknya harus banyak memuat unsur sepakbola ini. Kita sudah tanamkan keinginan buat bekerja dengan jujur dan cantik, kita bersama-sama ingin membangun kompetensi diri. Terakhir, visi yang paling ultimate, kesabaran dalam membangun kultur. Tidak mencari jalan pintas.
Dan kapan kita harus memulainya? Sekarang juga....
Grosso, ia yang menusuk patah hati Jerman. Pagi tadi, ia kembali menusuk patah hati bangsa Perancis…. Golnya dari titik penalti menghabisi perjuangan Perancis. Squadra Azzuri menjadi Juara Dunia 2006. Di tengah skandal dan masalah yang menyelimuti persepakbolaan Italia, Marcello Lippi membuktikan bahwa kedisiplinan yang kreatif mampu memenangkan pertandingan. Italia mampu merenggut cahaya menara Eiffel. Zinedine Zidane, yang ingin mengakhiri karirnya dengan manis, justru harus berakhir tragis. Bukan saja ia tak mendapatkan Piala Dunia, tapi ia juga harus diusir dari lapangan karena berbuat kasar pada Matterazi. Padahal, Zidane adalah salah satu nominator pemain terbaik Piala Dunia 2006. Mengapa ia memilih berbuat seperti itu? Masih misteri. Sungguh, nasib Perancis yang tragis. Sekeluarnya Zidane dari lapangan, aura kekalahan seperti menghembuskan nafas mautnya pada kesebelasan Perancis. Ruh kesebelasan Perancis bak tercerabut seiring dengan keluarnya Zidane, yang tampak lesu melewati Piala yang tak mungkin diraihnya. Sebaliknya Italia, tampil makin penuh percaya diri. Lini belakang yang dikomandoi Cannavaro, tetap disiplin sampai akhir. Mereka hanya kemasukan dua gol selama pertandingan piala Dunia. Seluruh eksekutor penalti, menyantap habis tendangan mereka. Italia memang pantas jadi Juara.
Usai sudah Piala Dunia. Tiga puluh dua hari sudah kita terbuai dalam keriaan, tawa, canda, drama, tragedi, dan tangis, bersama seluruh warga dunia. Kini kita kembali ke dunia nyata. Namun, sebagaimana ibadah puasa bagi umat beragama, tiga puluh dua hari ibadah ritual nonton sepakbola (yang notabene juga sering bangun malam) juga harus punya makna. Bahwa ini bukanlah akhir, justru awal dari sebuah perbaikan kehidupan. Piala Dunia adalah hari-hari bangun malam untuk melakukan perenungan dan pelatihan diri. Jangan sampai semua itu menjadi sia-sia dan tak memiliki makna moral. Ada tiga pelajaran yang gue coba ingat-ingat dan renungkan pagi tadi dari piala Dunia tahun ini.
Pelajaran pertama, tim terbaik belum tentu meraih juara. Kita melihat banyak contoh. Inggris misalnya, diperkuat oleh para pemain terbaik dunia di segala lini. Brazil juga gitu. Pemainnya adalah para idola anak muda sekarang. Mereka juga memiliki gaya permainan yang menawan dan enak ditonton. Belanda, meski harus keluar paling awal, adalah tim yang menonjolkan permainan cantik dan klasik. Di tengah minimnya gol pada piala dunia ini, benar kata Johan Cruyf dulu, ”jangan sampai keinginan menjadi juara membuat orang lupa bermain indah”. Itulah semangat sport sejati, bola harus menghibur, bola harus indah, dan bola harus memukau. Jika ternyata hasilnya adalah kekalahan, kekalahan itu masih mengandung kemenangan.
Ini emang kedengerannya ga logis, apalagi buat mereka yang berpendapat bahwa hasil yang paling penting. Tentu ini berbeda dengan filsafat hidup beragama. Dalam kesalehan, kita kan diajarkan untuk tidak boleh hanya meraih hasil, tanpa memikirkan cara terindah dan terjujur dalam mendapatkannya. Tanpa cara yang tepat dan baik, hidup yang hanya memburu target hasil, bisa menjadi tidak bertanggungjawab dan amoral.
Pelajaran kedua, asas bola adalah kompetensi, bukan keunggulan yang lain. Park Ji Sung, Didier Drogba, Ronaldhinho, bukanlah bangsa Eropa. Tapi mereka memiliki kompetensi tinggi untuk bersaing dengan bangsa Eropa yang notabene adalah negara maju. Maksimalisasi kompetensi diri inilah yang perlu kita pakai dalam membangun bangsa dan bekerja.
Pelajaran ketiga, kerja keras dan budaya adalah unsur utama yang tak boleh dilupakan dalam pembangunan ekonomi ataupun pembangunan lainnya. Kita lihat seluruh wakil Asia gagal di Piala Dunia. Bukan karena mereka bermain jelek, tapi mereka memang masih harus banyak belajar. Dalam bola, sebagaimana halnya kehidupan, tak ada yang namanya jalan pintas. Kita harus tekun dan disiplin membangun kultur, atau budaya untuk menunjangnya. Inggris, Italia, Jerman, Belanda, adalah negara-negara yang telah jauh hari membangun kultur sepakbola mereka.Bukan sebuah jalan singkat.
Visi dan misi kita dalam hidup nampaknya harus banyak memuat unsur sepakbola ini. Kita sudah tanamkan keinginan buat bekerja dengan jujur dan cantik, kita bersama-sama ingin membangun kompetensi diri. Terakhir, visi yang paling ultimate, kesabaran dalam membangun kultur. Tidak mencari jalan pintas.
Dan kapan kita harus memulainya? Sekarang juga....