Football is Life

Thursday, June 26, 2008

Turkish Delight dan Budaya Jargon

Di tengah kesibukan kita sehari hari, janganlah kita sampai lupa pada momen sakral, Euro 2008, yang sedang berlangsung. Dini hari nanti, semifinal mulai digelar, Jerman akan menghadapi Turki. Dan esok, Spanyol akan menghadapi Rusia. Sepanjang bulan Juni ini, Euro 2008 telah memberi kita hiburan dan keriaan, termasuk di dalamnya, pelajaran. Euro 2008 telah mengingatkan kita akan nilai-nilai universalitas dan maknawi dari sepakbola dan kehidupan. Tampilnya Turki dan Rusia ke ajang 4 besar memaksa kita semua untuk menerima realita bahwa dalam sepakbola berlaku “realisme kehidupan”. Yang lemah belum tentu tersisih, dan yang kuat belum tentu berjaya. Perancis, Belanda, Kroasia, Italia, harus menerima kenyataan tersingkir di tahap-tahap awal.

Pelajaran lain dari Euro 2008 adalah bagaimana sebuah tim memilih sistem yang sesuai dengan kultur dan mental yang ada. Sistem sepakbola Jerman misalnya, terkenal akan rigiditasnya yang kaku. Joachim Loew, sang pelatih, mengatakan bahwa kekuatan kesebelasan Jerman terletak pada rigiditas strukturnya yang kaku. Struktur, organisasi, disiplin, dan keberanian, diterapkan secara hierarkis untuk menopang die Mannschaft (tim nasional). Jerman dijuluki sebagai tim panser, karena gerakannya yang kaku dan kokoh bak panser. Sementara Belanda, menampilkan sepak bola indah, yang dikenal dengan total football. Dengan sistem ini, kultur yang ditampilkan adalah “Everyone wants to get involved”. Itulah keriaan sepak bola Belanda. Sistem bermain Belanda itu ternyata diduplikasi kesebelasan Rusia, yang kebetulan dilatih oleh orang Belanda bernama Gus Hiddink. Rusia mampu memainkan sebuah power footbal yang ciamik, kombinasi antara total football dan semangat permainan klasik Rusia. Permainan bola Rusia tampil begitu enteng dan lincah, rantai pertahanan tak tergoyahkan, dan tentu semangat membara yang ditampilkan tak tepermanai. Igor Kornejev, sang asisten pelatih mengatakan, ”Hiddink telah mengubah paradigma berpikir sepak bola Rusia”.

Sepak bola seolah menyadarkan kita bahwa sistem apapun yang dipilih, tidak menjamin kesuksesan. Namun konsistensi, keyakinan, sikap mental, dan kontekstualisasi sistem tersebut dengan kondisi nyata di lapangan-lah yang membuat berhasil. Mengadopsi sistem lain an sich ke dalam diri sebuah tim tidak menjamin keberhasilan. Rusia terbukti sukses mengadopsi sistem Belanda dengan penyesuaian pada kultur Rusia yang dingin, sedingin salju St Petersburg. Di lain pihak, Turki tetap memainkan sistem lama dan tidak tergoda menerapkan sistem baru. Tak banyak berubah dari pola permainan yang ada selama ini. Yang dilakukan oleh Fatih Terim, sang pelatih, adalah melakukan perubahan mental dan paradigma. Perubahan mental ini telah membawa Turki melaju ke semifinal.

Bercermin pada diri kita, sistem bukanlah sebuah panacea yang mampu mengatasi masalah dalam sekejap. Hal ini terbukti dengan begitu banyaknya sistem dan jargon-jargon canggih yang telah kita coba adopsi selama ini. Bangsa Indonesia bagai sebuah laboratorium raksasa dalam menerapkan berbagai sistem canggih dengan biaya yang besar. Kita mengenal banyak sekali istilah dan jargon, mulai dari jargon tiap kota, sistem-sistem canggih yang dicangkok dari luar negeri semisal management by objective di akhir 90-an, center of excellence, balance scorecard, knowledge sharing dll.

Tentu kita semua mendukung munculnya berbagai semangat dan arah perbaikan yang ingin dicapai. Namun, tanpa bermaksud skeptikal, belajar dari sepakbola Rusia dan Turki, kita menyadari bahwa bukan sistem yang membuat suatu tim berhasil. Sistem perlu juga mempertimbangkan anasir-anasir budaya berdasarkan konstruksi sosial kebudayaan yang ada dalam suatu lingkungan. Penerapan sistem perlu mempertimbangkan cita-cita antropologis manusia, yaitu humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri). Inilah sikap mental dan paradigma. Dengan demikian, tidak ada sistem yang mempunyai daya berlaku universal. Setiap lembaga mempunyai pengalaman sendiri dalam sejarah mereka yang harus diperhitungkan dalam mengadopsi sistem apapun. Sepakbola Turki telah membuktikan bahwa sistem lama tetap bekerja efektif asalkan dijalankan secara konsisten dengan semangat mental dan paradigma yang baru. Selamat menonton orkestra Turki malam ini.

Tulisan ini dibuat menjelang semifinal Euro 2008 antara Jerman vs Turki