Football is Life

Thursday, July 13, 2006

Belajar dari Hajar Menghajar

Sebelum kita terjebak pada diskusi yang panjang mengenai kasus Zidane menyeruduk Matterazzi, ada baiknya kita membuka-buka lembaran “hajar menghajar” di Piala Dunia selama ini. Sebetulnya hal seperti ini biasa dalam olahraga, khususnya sepakbola. Ia akan menjadi catatan sejarah. Kemudian kita ambil maknanya. Ada dua kasus yang bisa kita jadikan pelajaran.

Pertama, inget ga waktu Piala Dunia tahun 1990? Jerman vs Belanda, saat itu, Frank Rijkaard meludahi Rudi Voller. Saya masih ingat banget karena nonton di TV pas siaran langsung. Kasus ini kemudian menjadi berita besar seperti saat ini, dibahas berhari-hari di koran. Apa yang dikatakan Voller pada Rijkaard dan sebaliknya? Isu rasisme dll muncul. Kita tahu, Jerman dan Belanda adalah musuh bebuyutan. Setiap pertemuan mereka, begitu banyak dendam, nafsu, dan amarah yang meruap. Sarat dengan emosi dan melebar meluas lebih dari sekedar olahraga. Belanda selalu menyimpan dendam sejak Jerman menginvasi negerinya pada PD II. Pertemuan mereka pertama kali sejak perang dunia II adalah saat Piala Dunia Tahun 1974 di partai final. Wim van Hanegem, gelandang Belanda waktu itu, mengatakan,”Setiap kali aku bertemu Jerman, aku merasa marah. Mereka membunuh 80% dari keluargaku saat perang. Aku tidak berpikir kemenangan 1-0 saja cukup. Kami harus menghancurkan mereka.” Namun Belanda kemudian kalah. Sejak saat itu pers ikut-ikutan memanas-manasi setiap pertemuan Jerman vs Belanda. Dasar nasib, Belanda kalah terus. Baru pada tahun 1988, Belanda berhasil membalas dendam dengan mengalahkan Jerman 2-1.

Tahun 1990, dendam masih ada. Insiden ”ludah meludah” terjadi. Saat pertandingan baru mulai, Adrie van Tigellen udah melukai Pierre Litsbarski? Puncaknya ya itu, Rijkaard ngeludahin Voller. Keduanya nyaris terlibat baku pukul. Wasit akhirnya mengusir keduanya. Gue sampe ketawa ngeliatnya. Eh ternyata tak berhenti di situ. Saat keduanya menuju kamar ganti, Rijkaard kembali meludahi Voller dan mencekik lehernya. Voller dihukum untuk satu pertandingan dan Rijkaard untuk tiga pertandingan.

Kebencian mereka meruyak. Para penggemar juga. Tapi... apa benar begitu? Ternyata tidak juga. Saat ini Rijkaard dan Voller selalu tertawa saat mengingat kejadian itu. Mereka kini justru menjadi teman. ”Aku berteman dengan Frank sekarang, meskipun perlu waktu. Kita telah saling memaafkan. Kami sama-sama main di Liga Italia dan tidak pernah memiliki masalah..” demikian kata Voller. Kebencian yang meruyak pada akhirnya menjadi persahabatan yang erat. Frank Rijkaard bercerita bahwa saat pertandingan itu ia sedang menghadapi masalah besar. Ia sedang menghadapi perceraian. Dia tak menjadi manusia seperti biasa. ”Akupun memahami masalahnya.” sambung Voller.

Kedua, kita mundur ke belakang lagi. Ingat ga kasus kiper Jerman, Harald Schumacher, saat Piala Dunia 1982? Jerman vs Perancis. Ceritanya, pemain Perancis, Patrick Battiston sedang berlari membawa bola menuju gawang Schumacher. Tiba-tiba, Schumacher maju sekaligus menabrak wajah Battiston dengan lututnya. Battiston jatuh pingsan, giginya rontok, rahangnya patah. Inilah pelanggaran terburuk Piala Dunia. Parahnya, sang wasit cuek aja. Pertandingan tetap dilanjutkan, bahkan tak ada tendangan bebas bagi Perancis.

Jerman saat itu menang, setelah Schumacher berhasil menepis dua tendangan adu penalti dan membawa Jerman lolos ke final. Banyak orang tak bisa memaafkan kejadian itu. Publik Perancis membela mati-matian Battiston, persis seperti Zidane sekarang (meski di sisi yang berbeda), dan mencela habis-habisan kelakuan Schumacher.

Apakah kebencian tetap meruyak antara Battiston dan Schumacher? Ternyata tidak. Mereka justru sekarang menjadi teman baik. Battiston bukan seorang pendendam. Ia seorang yang santun dan mau memaafkan. Dia justru mengundang Schumy hadir di pernikahannya.

Apa arti dari semua ini? Sepakbola adalah olahraga yang keras. Memaki, memukul, meludah, bahkan menanduk seperti Zidane adalah hal yang wajar di lapangan. Hampir semua pemain bola melakukan hal itu. Biasanya setelah itu, mereka saling bersahabat dengan lawan-lawannya. Banyak yang saling mendiskusikan insiden yang terjadi antara mereka sambil tertawa. Demikian pula untuk kasus Zidane. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan.

Marilah kita contoh laku para pemain sepakbola, santun, tak menyimpan dendam, dan saling memaafkan diantara mereka. Itulah makna olahraga. Itulah sikap sportif. Nelson Mandela berkata, bangsa yang maju adalah bangsa yang mau memaafkan, walau tidak melupakan....

Tuesday, July 11, 2006

It's Time to Kill Our Cows

Ada satu hal kecil terlupakan yang perlu jadi catatan kita juga selama Piala Dunia kemarin. Ini kisah soal kesebelasan Ekuador. Secara mengejutkan mereka mampu lolos ke babak kedua. Sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Yang menarik adalah, Pelatih Ekuador, Luis Suarez sebelum berangkat ke Jerman memberikan sebuah buku pada ke-23 pemain Ekuador. Latihan pertama mereka adalah membaca buku. Buku itu adalah sebuah kisah tentang perjalanan seorang raja dengan abdinya yang tersesat di sebuah hutan.

Hari sudah larut malam. Sampailah mereka pada sebuah gubuk kecil. Sang Raja mengetuk pintu dan seseorang membukanya. ”Apa yang dapat saya lakukan untuk anda?” kata pemilik rumah, tanpa menyadari siapa yang datang. ”Kami mengalami masalah dalam perjalanan dan berharap apakah bisa menginap barang semalam di rumah ini? Kata sang Raja. "Tentu saja, mari masuk dan silakan anggap rumah anda sendiri" ujar pemilik rumah dengan ramahnya. Sang istri pemilik rumah kemudian menawarkan makan malam. Mereka menyajikan susu, keju, dan daging sapi muda.

Melihat hal tersebut, sang Raja bertanya, "Saya hanya melihat seekor sapi di depan rumah anda, bagaimana anda bisa hidup dan makan seperti malam ini?". Sang pemilik rumah menjawab,"Begini, sapi itu memberi kami susu, kemudian susu itu kami jual ke pasar. Hasilnya untuk makan kami setiap hari. Apalagi yang kami butuhkan dalam hidup ini?"

Merekapun menyelesaikan makan malam dan tidur. Esok paginya, sang Raja mengucapkan terima kasih dan pamit untuk meneruskan perjalanan. Setelah berjalan, sang Raja memerintahkan abdinya untuk kembali ke rumah itu dan membunuh sapi pemilik rumah tadi malam. Di tengah kekagetan, sang abdi tetap melaksanakan perintah Raja.

Waktu berjalan dan kejadian ini telah berlangsung lama hingga hampir dilupakan oleh sang Raja. Hingga pada suatu hari ia memerintahkan sang abdi untuk kembali ke tempat peternak sapi dan melihat apa yang terjadi pada keluarga mereka. Sesampainya di sana, ia terkaget-kaget. Ia melihat sebuah ranch yang luas, penuh dengan binatang ternak, memiliki penggilingan gandum, dan lumbung-lumbung makanan.

Terkaget, Sang abdipun mengetuk pintu rumah, dan dibuka oleh orang yang tak dikenalnya. "Apa yang dapat kami lakukan untukmu?" tanya sang pemilik rumah. "Saya pernah mampir di sini beberapa tahun lalu, tapi situasinya sangat jauh berbeda. Saya sedang berpikir, apa yang terjadi pada keluarga yang dulu tinggal di sini?" tanya sang abdi. "Itu pasti kami, karena kami tak pernah pindah" kata pemilik rumah. "Tapi bagaimana kamu bisa jadi kaya raya seperti ini". "Well sebenarnya, sesuatu yang aneh terjadi. Suatu pagi kami bangun dan menemukan sapi kami mati. Kami tak punya pilihan lain kecuali memikirkan bagaimana harus meneruskan hidup baru yang penuh dengan tantangan. Kami harus bekerja keras apabila ingin tetap hidup, itulah yang membawa kami menjadi seperti ini sekarang."

Luis Suarez meminta seluruh pemain Ekuador membaca buku ini. Usai membaca, ia mengumpulkan seluruh pemainnya dan berkata: "Gentlemen, we're going to play in a World Cup. It's time to kill your cows."

Kita lihat kemudian Ekuador bermain luar biasa dan mampu lolos ke babak kedua penyisihan grup. Sungguh prestasi yang patut dibanggakan. Hal ini salah satunya adalah karena mereka mau keluar dari kenyamanan yang telah dimiliki selama ini untuk kemudian bekerja keras menggapai masa depan yang lebih baik. Kadang kita juga terjebak oleh kenyamanan2 seperti itu. Bekerja, mendapat gaji cukup, punya keluarga, anak yang sehat, apalagi yang kita inginkan? Kita bekerja untuk mencari nafkah. Nafkah itupun untuk membiayai keluarga. Mungkin itu saja sudah cukup bagi kita. Kalau cuma nafkah yang kita inginkan, biasanya memang hanya itulah yang kita dapat. Sekedar nafkah.....

Melkisedek Bola

Tulisan Sindhunata di Kompas, 7 Juli 2006, tulisan ini dibuat menjelang pertandingan Final Piala Dunia 2006 antara Italia vs Perancis

Adalah seorang lelaki tua, Melkisedek namanya. Pada anak gembala yang sedang mencari harta karun itu, ia berpetuah tentang takdir manusia. Dan beginilah Paulo Coelho menuliskan petuah tersebut dalam bukunya, The Alchemist, yang terkenal itu.

Takdir adalah apa yang selalu ingin kau capai. Semua orang, ketika masih muda, tahu takdir mereka. Pada titik kehidupan itu, segalanya jelas, segalanya mungkin. Mereka tidak takut bermimpi, mendambakan segala yang mereka inginkan terwujud dalam hidup mereka…." Lalu Melkisedek berpesan, satu-satunya kewajiban sejati manusia adalah mewujudkan takdirnya. "Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya," katanya.

Petuah Melkisedek itu berlaku untuk siapa saja, juga untuk pemain bola. Dan jika pada zaman ini ada pemain bola yang telah melengkapi takdirnya, maka ia adalah Zinedine Zidane. Seperti anak gembala yang terlunta-lunta memburu harta karun dalam novel The Alchemist itu, Zidane juga harus melalui jalan yang penuh duri untuk melengkapi takdirnya sebagai pemain bola.

Ia adalah anak imigran miskin yang hijrah dari Afrika Utara. Sesampainya di Perancis, mereka tinggal di La Castellane, sebuah tempat tanpa harapan, terletak di pinggiran Marseille. Di tempat itulah Zidane kecil bermain bola. Ia bermain di jalanan, gawangnya ditandai dengan batu atau baju. Siapa yang menang memperoleh piala dari gelas plastik.

Zidane bilang, di antara teman bermainnya, ia bukanlah yang terbaik. Namun, ia dikenal tekun dan tak pernah menyerah. "Ketika teman-teman sudah pulang ke rumah, saya masih mempelajari trik-trik bola dengan kaki saya," kata Zidane mengenang masa kecilnya.... "Apa yang sekarang saya bisa lakukan di lapangan, itu semuanya telah saya pelajari dulu di jalanan," katanya menambahkan.

Umur 13 tahun, Zidane, anak bungsu itu, ditemukan oleh Jean Varraud, pemandu bakat AS Cannes. Ia harus berpisah dari orangtuanya. Hari-hari pertama dilewatkannya dengan tangis karena ia rindu akan rumahnya. Umur 16, ia sudah menjadi profesional di Bordeaux, sebelum ia ke Juventus, Turin.

Puncak permainan
Menjelang melawan Spanyol ia mendengar kabar, Jean Varraud meninggal dalam usianya yang ke-85. "Saya menjadi seperti sekarang karena Varraud," kata Zidane. Maka kematian Varraud adalah berita sedih baginya. Tetapi justru di tengah kesedihan itu, Zidane memperlihatkan puncak permainannya. Pujian datang bertubi-tubi kepadanya. Apalagi ketika Perancis mengalahkan Brasil.

Zidane adalah magi bagi kesebelasan Perancis, lebih-lebih ketika mereka berada dalam keadaan kritis. "Ia bukan pemain bola, ia adalah keberuntungan," kata Laurent Blanc, mantan pemain Perancis. "Ia seperti tidak datang dari dunia ini," kata Aimé Jaquet, mantan Pelatih Perancis. "Ia seperti dewa, ia bermain bola dengan kemolekan seorang balerina," puji David Beckham.

Melawan Brasil, Zidane memperlihatkan diri sebagai "penguasa lapangan tengah sejati". Bola melekat di kakinya. Dan dengan sentuhan satu-duanya, bola mau saja menuruti ke mana Zidane menghendaki takdirnya. "Itulah permainan hidupnya," puji koran L’Equippe. Bola dan kaki Zidane seakan memperagakan kata-kata ini, pulchrum est quod visu placet, apa yang indah adalah apa yang menyenangkan pada pandangan mata.

Zidane telah melengkapi takdirnya sebagai pemain bola. Tak hanya itu, ia juga telah menjadi "Melkisedek Bola". Selepas pertandingan Brasil melawan Perancis, ia mengusap pipi Lucio dan mengelus-elus rambut Ze Roberto yang terkapar di rumput. Seakan ia hendak menghibur pemain Brasil itu, bahwa kekalahan adalah duri yang memang harus dilalui oleh pemain bola. Lalu si kecil Robinho merangkul lehernya, seperti "anak kera yang tak mau berpisah dari ibunya". Kepada Zidane, rekan seklubnya di Real Madrid, si kecil Robinho melihat teladan yang meneguhkan, yakni bahwa masih sangat panjanglah jalan untuk melengkapi takdirnya sebagai pemain bola.

Zidane adalah pemain bola hebat. Tetapi ia dikenal sebagai pribadi pendiam dan rendah hati. Tak heran, bukan hanya kawan, tetapi lawannya pun amat menghormatinya.

"Tak mungkinlah jika orang tidak mencintainya," kata Marcello Lippi.

Melebihi pemain muda
Tiga puluh empat tahun bukan lagi usia muda bagi pemain bola, apalagi untuk pemain lapangan tengah. Tetapi Zidane memperlihatkan, di usia tersebut ia masih dapat bermain dengan ideal, melebihi pemain-pemain muda. Pada Zidane, memancar kebenaran kata-kata Albert Schweitzer, dokter pencinta kemanusiaan itu. Kata Schweitzer, orang tidak menjadi tua karena bertambahnya usia, tetapi karena ia menyerah dan mengucapkan selamat tinggal kepada cita-citanya. Ia tidak menjadi tua karena kisut kulitnya, tetapi karena meringkus jiwanya.

Maka, kata Schweitzer lagi, kamu akan muda semuda kepercayaannya, dan kamu akan tua setua keraguanmu. Kamu akan muda semuda harapanmu, dan kamu akan tua setua keputusasaanmu. Maka sejauh keindahan, kegembiraan, keagungan dunia, manusia dan Tuhan merambati hatimu, kamu akan tetap tinggal muda selamanya.

Zidane telah menyatukan harapan, keindahan, dan keagungan jagat bola ke dalam dirinya. Karena itu ia tetap muda dalam permainannya kendati sudah tua usianya. Namun, seperti dikatakan dalam The Alchemist, dengan berlalunya waktu, akan datang daya misterius yang meyakinkan, bahwa mustahil orang bisa mewujudkan takdirnya. Zidane pun tahu akan hal itu. Karena itu ia sadar, inilah hari-hari terakhir ia menggenapi takdir bolanya. Ia menangis ketika mengucapkan kata-kata perpisahan di Real Madrid. Dan kini mungkin publik bola dunia akan menangis karena kepergiannya.

Perancis Nan Tragis

tulisan ini saya buat usai menyaksikan Final Piala Dunia 2006, 10 Juli 2006, antara Italia vs Perancis. Italia menang melalui Adu Penalti

Grosso, ia yang menusuk patah hati Jerman. Pagi tadi, ia kembali menusuk patah hati bangsa Perancis…. Golnya dari titik penalti menghabisi perjuangan Perancis. Squadra Azzuri menjadi Juara Dunia 2006. Di tengah skandal dan masalah yang menyelimuti persepakbolaan Italia, Marcello Lippi membuktikan bahwa kedisiplinan yang kreatif mampu memenangkan pertandingan. Italia mampu merenggut cahaya menara Eiffel. Zinedine Zidane, yang ingin mengakhiri karirnya dengan manis, justru harus berakhir tragis. Bukan saja ia tak mendapatkan Piala Dunia, tapi ia juga harus diusir dari lapangan karena berbuat kasar pada Matterazi. Padahal, Zidane adalah salah satu nominator pemain terbaik Piala Dunia 2006. Mengapa ia memilih berbuat seperti itu? Masih misteri. Sungguh, nasib Perancis yang tragis. Sekeluarnya Zidane dari lapangan, aura kekalahan seperti menghembuskan nafas mautnya pada kesebelasan Perancis. Ruh kesebelasan Perancis bak tercerabut seiring dengan keluarnya Zidane, yang tampak lesu melewati Piala yang tak mungkin diraihnya. Sebaliknya Italia, tampil makin penuh percaya diri. Lini belakang yang dikomandoi Cannavaro, tetap disiplin sampai akhir. Mereka hanya kemasukan dua gol selama pertandingan piala Dunia. Seluruh eksekutor penalti, menyantap habis tendangan mereka. Italia memang pantas jadi Juara.

Usai sudah Piala Dunia. Tiga puluh dua hari sudah kita terbuai dalam keriaan, tawa, canda, drama, tragedi, dan tangis, bersama seluruh warga dunia. Kini kita kembali ke dunia nyata. Namun, sebagaimana ibadah puasa bagi umat beragama, tiga puluh dua hari ibadah ritual nonton sepakbola (yang notabene juga sering bangun malam) juga harus punya makna. Bahwa ini bukanlah akhir, justru awal dari sebuah perbaikan kehidupan. Piala Dunia adalah hari-hari bangun malam untuk melakukan perenungan dan pelatihan diri. Jangan sampai semua itu menjadi sia-sia dan tak memiliki makna moral. Ada tiga pelajaran yang gue coba ingat-ingat dan renungkan pagi tadi dari piala Dunia tahun ini.

Pelajaran pertama, tim terbaik belum tentu meraih juara. Kita melihat banyak contoh. Inggris misalnya, diperkuat oleh para pemain terbaik dunia di segala lini. Brazil juga gitu. Pemainnya adalah para idola anak muda sekarang. Mereka juga memiliki gaya permainan yang menawan dan enak ditonton. Belanda, meski harus keluar paling awal, adalah tim yang menonjolkan permainan cantik dan klasik. Di tengah minimnya gol pada piala dunia ini, benar kata Johan Cruyf dulu, ”jangan sampai keinginan menjadi juara membuat orang lupa bermain indah”. Itulah semangat sport sejati, bola harus menghibur, bola harus indah, dan bola harus memukau. Jika ternyata hasilnya adalah kekalahan, kekalahan itu masih mengandung kemenangan.

Ini emang kedengerannya ga logis, apalagi buat mereka yang berpendapat bahwa hasil yang paling penting. Tentu ini berbeda dengan filsafat hidup beragama. Dalam kesalehan, kita kan diajarkan untuk tidak boleh hanya meraih hasil, tanpa memikirkan cara terindah dan terjujur dalam mendapatkannya. Tanpa cara yang tepat dan baik, hidup yang hanya memburu target hasil, bisa menjadi tidak bertanggungjawab dan amoral.

Pelajaran kedua, asas bola adalah kompetensi, bukan keunggulan yang lain. Park Ji Sung, Didier Drogba, Ronaldhinho, bukanlah bangsa Eropa. Tapi mereka memiliki kompetensi tinggi untuk bersaing dengan bangsa Eropa yang notabene adalah negara maju. Maksimalisasi kompetensi diri inilah yang perlu kita pakai dalam membangun bangsa dan bekerja.

Pelajaran ketiga, kerja keras dan budaya adalah unsur utama yang tak boleh dilupakan dalam pembangunan ekonomi ataupun pembangunan lainnya. Kita lihat seluruh wakil Asia gagal di Piala Dunia. Bukan karena mereka bermain jelek, tapi mereka memang masih harus banyak belajar. Dalam bola, sebagaimana halnya kehidupan, tak ada yang namanya jalan pintas. Kita harus tekun dan disiplin membangun kultur, atau budaya untuk menunjangnya. Inggris, Italia, Jerman, Belanda, adalah negara-negara yang telah jauh hari membangun kultur sepakbola mereka.Bukan sebuah jalan singkat.

Visi dan misi kita dalam hidup nampaknya harus banyak memuat unsur sepakbola ini. Kita sudah tanamkan keinginan buat bekerja dengan jujur dan cantik, kita bersama-sama ingin membangun kompetensi diri. Terakhir, visi yang paling ultimate, kesabaran dalam membangun kultur. Tidak mencari jalan pintas.

Dan kapan kita harus memulainya? Sekarang juga....

Thursday, July 06, 2006

To be Machiavelli or Michelangelo?

Jerman Menangis. Dua menit terakhir di sessi perpanjangan waktu, telah menghancurkan impian mereka. Italialah yang menghancurkan impian itu. Komentator TV memulai pertandingan dengan pernyataan, Italia punya dua pilihan, to be Machiavelli or Michelangelo?. Dan, seperti kita semua, hidup ini adalah masalah pilihan. Marcello Lippi, pelatih Italia, memilih untuk mengguratkan keindahan dan seni artistik Michelangelo di lapangan. Sistem “Catenaccio” (sistem pertahanan ketat / grendel di lini belakang) yang dikomando oleh Cannavaro bukan main menawan. Tak bisa ditembus oleh pemain Jerman. Filsafat dasar catenaccio adalah ”bertahan adalah format terbaik serangan”. Tapi Marcello Lippi tak terpaku pada catenaccio yang kaku. Ia menambahkan unsur atraktifitas dan kreatifitas. Untuk itulah ia memasukkan Del Piero di ujung waktu. Gerakannya sunggguh menambah goresan warna-warni Italia di lapangan hijau. Geraknya menggugah lini depan Italia, dua gol langsung disarangkan Italia, tak lama setelah Del Piero dimasukkan. Satu gol bahkan disumbangkan olehnya, justru di detik terakhir pertandingan perpanjangan waktu (menit 121+). Jermanpun tersungkur dan menangis, tragis memang.

Penyair Jerman Goethe mengatakan ”Die Tat ist alles, nichts der Ruhm” (perbuatan adalah segalanya, bukan nama harum). Nilai inilah yang dijadikan semboyan hidup Michael Ballack. ”Rapor nilai kita adalah kenyataan di lapangan,” itulah yang terus menerus diyakini dan dikobarkan oleh Ballack pada rekan-rekannya di tim Jerman. Nyatanya, Ballack dinegasikan oleh semboyannya sendiri karena kekalahan yang menyesakkan di lapangan. Stadion Dortmund basah oleh tangisan Jerman. Kita lihat tadi pagi, Angela Merkel, Kanselir Jerman, hanya bisa termangu di kursi VIP. Ia yang paling merasakan kepedihan itu. Memang, omongan dan kata-kata saja tak cukup. Sebelum pertandingan, optimisme sangat besar di kubu Jerman. Bierhoff, penyerang senior Jerman, mengatakan, “setiap orang dapat melihat bahwa kita adalah klub terbaik di dunia. Kita telah melaju cukup jauh dan sedikit lagi memenangi Piala Dunia”. Percaya diri begitu mewarnai Jerman. “Kita selalu yakin bisa memenangkan pertandingan melawan Italia.”

Tapi sepakbola mengajari kita ‘realisme lapangan’. Secara intensif, ajaran itu telah merasuki kita. Karenanya, masyarakat sekarang tak lagi mudah percaya dan tertipu oleh omongan. Janji-janji untuk melakukan ini atau itu, tak begitu saja dipercaya di lapangan. Silakan anda bicara, tapi menurut realisme bola, jika omongan kita tidak menjadi kebenaran dan kenyataan di lapangan, berarti anda gagal dan harus siap terusir dari lapangan. Demikian pula dengan janji-janji politisi, pemerintah, bahkan bank sentral. Nama harum atau ”ganteng” saja tak cukup (mengutip Emha Ainun Nadjib). Oleh karenanya, dalam sikap kita bekerja dan berkarya, filosofi Goethe nampaknya perlu kita pahami. Bahwa kita perbuatan lebih penting dari perkataan.

Hidup ini pada akhirnya memang sebuah pilihan. To be Machiavelli or Michelangelo? sepenuhnya ada di tangan kita....

(tulisan ini dibuat usai menyaksikan Pertandingan semifinal Piala Dunia 2006 antara Italia vs Jerman, 5 Juli 2006)

Sunday, July 02, 2006

Air Mata Inggris mengalir lagi

Malam itu, saya menangis. Sayapun tak kuat menahan aliran air mata. Kesebelasan Inggris seperti terkena kutukannya kembali. Ia harus tersisih dari pertandingan setelah kalah dalam adu penalti. Ingat Italia ’90, Euro ’96, Perancis ’98, dan Euro 2004, kesemuanya berakhir dengan kekalahan adu penalti. Di Jerman 2006, kepedihan itu terulang. Dari 5 tendangan penalti, hanya satu yang berhasil. Sementara Frank Lampard, Steven Gerrard, dan Jamie Caragher, gagal mengeksekusi penalti. Dan rerumputan hijau di stadion Arena Aufschalke, kota Gelsenkirchen, itupun basah oleh air mata dan kesedihan anak-anak manusia yang gagal memperebutkan mahkota kejayaan. Di sana juga terkubur harapan rakyat Inggris untuk mengembalikan the old glory of England, dan menepati janji Football is coming home. Memang, sabtu malam itu, anak-anak Inggris menangis, wanita-wanitanya merasa patah, dan kaum lelakinya seperti kehilangan akal. Mereka tak dapat terhiburkan, bahwa ini semua hanyalah permainan.

Sungguh memilukan melihat Rio Ferdinand, pemain belakang Inggris, duduk di rumput stadion menangis sesunggukan. Tangis Ferdinand adalah kehancuran dan kepedihan Inggris. Ferdinand menyeka airmatanya dengan kaos putih Inggris. Namun airmata itu tak mau berhenti mengalir. Teman-temannya datang menghibur, tapi air mata itu tak tertahankan, ia terus tumpah dan mengalir. Bayangkan, Ferdinand dengan gagah selama 120 menit menjaga zona pertahanan Inggris. Bahkan dengan 10 pemain, setelah Wayne Rooney memperoleh kartu merah, Ferdinand tetap membuat pertahanan Inggris tak mampu dijebol oleh serangan Portugal. Inggris bahkan menguasai permainan. Berbagai peluang berbahaya untuk mencetak gol tercipta, meski hanya dengan 10 pemain. Sungguh tragis, itulah sepakbola.

Henry Winter menulis, The Three Lions, julukan bagi tim Inggris, memang menguasai hampir seluruh jalannya permainan. Tapi mereka hanyalah anak kucing tak bernyali untuk urusan tendangan 12 pas. Inggris selama ini mengklaim bahwa mereka selalu berlatih serius dan rajin untuk sebuah turnamen dengan dedikasi seorang atlet Olimpiade. Mereka justru mengabaikan satu hal yang selalu mengantar mereka ke jalur menuju final. Berlatih tendangan Penalti!!!. Kalau mereka adalah tim terkenal di dunia internasional, seharusnya mereka belajar dari kesalahan. Bahwa mereka selalu tersingkir karena urusan Penali ini. Memang Penalti lebih pada urusan mental, tapi ingat apa kata pemain Inggris dulu usai mereka gagal mengeksekusi penalti, ”Saya tidak pernah berlatih Penalti sebelum ini”. Seluruh dunia mencecar kenapa para pelatih Inggris tidak pernah berlatih penalti, sementara tim lain selalu menutup sessi latihan dengan penalti. Mereka semua beralasan bahwa tekanan pada hari pertandingan tidak bisa dijiplak di kamp latihan yang kosong penonton. Tidak ada yang bisa mempersiapkan seorang pemain untuk ”berjalan dari garis tengah dihajar terpaan jutaan pasang mata... saat itu, gawang mengecil... kiper musuh membesar, dan lain-lain”.

Arogan memang. Tapi itulah Inggris. Mereka terlalu klasik dalam berlatih. Erikkson, pelatih Inggris dari Swedia, memang telah mencoba untuk melakukan laihan penalti. Tapi hal itu terlambat. Para pemain tak pernah mau membiasakan diri secara serius untuk berlatih penalti. Hanya Hargreaves seorang yang terus menerus berlatih penalti secara serius. Dan ia menjadi satu-satunya pemain inggris yang berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Hargreaves mampu bergerak dan berpikir melewati kebiasaan yang sudah ada. Comfort Zone dalam latihan Inggris, yang sudah menjadi tradisi selama ribuan tahun, mampu didobrak oleh Hargreaves. Saat teman-temannya selesai berlatih, ia melanjutkan satu jam lagi untuk menendang penalti. Ini pula yang dulu dilakukan oleh Alan Shearer dan Gary Lineker, juga pemain Inggris. Mereka tak pernah gagal dalam penalti. Mereka semua berhasil menunaikan tugas dengan baik. Mereka mampu mendobrak kotak berpikir klasik (thinking out of the box). Memang, kenyamanan dalam hidup dan bekerja, kadang membuat kita malas melakukan hal yang tidak biasa. Padahal, mungkin itu adalah pekerjaan yang lebih baik. Disiplin dan kreativitas adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Itu mungkin pelajaran bagi kita dari kekalahan Inggris.... so long England, selamat jalan.